Orang yang memperhatikan sejarah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam,
serta sejarah para sahabat dan para tabi’in serta atba’ tabi’in bahkan
hingga generasi sesudah tahun 350 H, tidak akan mendapatkan seorang pun
dari umat Islam yang mengadakan mauludan atau Perayaan Maulid Nabi, atau
memerintahkannya, atau bahkan membicarakannya. Imam Al Hafizh As
Sakhawi Asy Syafi’i dalam kitab
Fatawa-nya berkata, “Perayaan
Maulid tidak dinukil dari seorangpun dari salafush-shalih di tiga zaman
yang utama. Akan tetapi hal itu terjadi setelah itu.”
[1]
Jadi pertanyaannya yang sangat mengusik adalah sejak kapan Perayaan
Maulid ini ada? Apakah diadakan oleh para ulama, atau para raja, atau
oleh para Khulafa` Ahlus Sunnah yang dipercaya agamanya? Ataukah dari
orang-orang yang menyimpang dan memusuhi Sunnah?
[2]
Pertanyaan ini dijawab oleh para ulama Islam, di antaranya oleh Syaikhul Azhar Syaikh Athiyah Shaqr:
“Para sejarawan tidak mengetahui seorang pun yang merayakan Maulid
Nabi sebelum Dinasti Fathimiyyah, sebagaimana yang dikatakan oleh Ustadz
Hasan As Sandubi. Mereka merayakan Maulid Nabi di Mesir dengan pesta
besar. Mereka membuat kue dalam jumlah besar dan membagi-bagikannya,
sebagaimana yang dikatakan oleh Al Qalqasandi dalam kitabnya
Shubhul A’sya.”
Lalu Syaikh Athiyah mejelaskan urutan sejarah Maulid sebagai berikut:
Pertama:
Di Mesir. Orang-orang Dinasti Fathimiyyah merayakan berbagai macam
Maulid untuk ahlul bait. Yang pertama kali melakukan adalah Al Muiz
Lidinillah (341-365H) pada tahun 362 H. Mereka juga merayakan Maulid Isa
(natalan) sebagaimana dikatakan oleh Al Maqrizi as-Syafi’i dalam kitab
As Suluk Limakrifati Dualil Muluk.
Kemudian Maulid Nabi- begitu pula Maulid-Maulid yang lain- pada tahun
488 H karena Khalifah Al Musta’li Billah mengangkat Al Afdhal Syahinsyah
ibn Amirul Juyusy Badr Al Jamali sebagai mentri. Ia adalah orang kuat
yang tidak menentang ahlus sunnah, sebagaimana dikatakan oleh Ibnul
Atsir dalam kitabnya
Al Kamil: 5/302. Hal ini berlangsung hingga
kementerian diganti oleh Al Makmun Al Bathaihi, lalu ia mengeluarkan
instruksi untuk melepas shadaqah (zakat) pada tanggal 13 Rabiul Awal 517
H, dan pembagiannya dilaksanakan oleh Sanaul Malik.
[3]
Sejarawan Sunni Syaikh Al Maqrizi Asy Syafi’i (854 H) dalam kitab
Al Khuthath (1/490 dan sesudahnya) berkata,
“
Menyebut hari-hari di mana para khalifah Fathimiyyah
menjadikannya sebagai hari raya dan musim perayaan, pesta besar bagi
rakyat dan banyak kenikmatan di dalamnya untuk mereka.”
Lalu dia mengatakan,
“Adalah para khalifah dari Dinasti Fathimiyyah di sepanjang tahun memiliki hari-hari raya dan hari-hari besar, yaitu:
- Hari Raya Tahun Baru
- Hari Raya Asyura`
- Hari Raya Maulid Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
- Hari Raya Maulid Ali ibn Abi Thalib Radhiyallahu ‘Anhu
- Maulid Hasan dan Husain ‘Alaihis Salam
- Maulid Fathimah Alaihis Salam
- Maulid Khalih Al Hadir (yang sedang berkuasa)
- Malam Awal Rajab
- Malam Nishfu Sya’ban
- Malam Ramadhan
- Ghurrah (awal) Ramadhan
- Simath (tengah) Ramadhan
- Malam Khataman
- Hari Raya Idul Fitri
- Hari Raya Kurban
- Hari Raya Ghadir (Khum)
- Kiswah Asy Syita` (pakaian musim hujan)
- Kiswah Ash Shaif (pakaian musim panas)
- Hari Besar Pembukaan Teluk
- Hari Raya Nairuz (tahun Baru Persia)
- Hari Raya Al Ghuthas
- Hari Raya Kelahiran
- Hari Raya Khamis Al Adas (Khamis Al Ahd, 3 hari sebelum Paskah)
- dan hari-hari Rukubat.”
Sementara dalam kitab
Itti’azhul Khunafa` (2/48) Al Maqrizi
berkata, “(Pada tahun 394 H), pada bulan Rabiul Awwal manusia dipaksa
untuk menyalakan kendil-kendil (lampu) di malam hari di rumah-rumah,
jalan-jalan dan gang-gang di Mesir.”
Di halaman lain (3/99) ia berkata, (pada tahun 517 H) ”
Dan berlakulah aturan untuk merayakan Maulid Nabi yang mulia pada bulan Rabiul Awal seperti biasa.”
Untuk keterangan lebih lanjut mengenai apa yang terjadi saat perayaan
Maulid Nabi dan besarnya walimah maka silakan merujuk pada
Al Khuthath; 1/432-433; Syubul A’sya, karya Al Qalqasandi: 3/498-499).
Setelah mengutip kutipan di atas maka Syaikh Nashir ibn Yahya Al Hanini penulis
Al Maulid An Nabawi menyimpulkan:
“Dari kutipan di atas, renungkanlah bersama saya. Bagaimana Maulid Nabi
dikumpulkan bersama bid’ah-bid’ah besar seperti:
- Bid’ah Syi’ah dan ghuluw (kultus) terhadap Ahlul Bait yang tercetus dalam Maulid Ali, Maulid Fathimah, Maulid Hasan dan Husain.
- Bid’ah hari besar Nairuz, hari raya Ghuthas, dan hari Maulid Isa (Natal), yang kesemuanya adalah hari raya Kristen (dan Majusi).
Ibnul Turkmani dalam kitabnya
Al Luma’ fil Hawadits wal Bida’
(1/293-316) berkata tentang hari-hari raya milik Nashari tersebut:
“Pasal, termasuk bid’ah dan kehinaan adalah apa yang dilakukan oleh kaum
muslimin pada Hari Raya Nairuz milik Nasrani dan hari-hari besar
mereka, yaitu ikut menambah uang belanja (lebih dari hari biasanya).” Ia
berkata, “Nafkah ini tidak akan diganti (oleh Allah) dan keburukannya
akan kembali kepada orang yang mengeluarkannya, cepat atau lambat.” Lalu
dia berkata, “Di antara sedikitnya taufiq dan kebahagiaan adalah apa
yang dilakukan oleh orang Muslim yang buruk pada hari yang disebut
dengan hari Natal (kelahiran/ Maulid Isa).”
Kemudian ia mengutip ucapan ulama-lama Madzhab Hanafi bahwa siapa
yang melakukan perkara-perkara di atas dan tidak bertaubat maka ia kafir
seperti mereka. Kemudian ia menyebut hari-hari raya Nasrani yang biasa
diikuti oleh orang-orang Islam yang jahil. Dia menjelaskan keharamannya
berdasarkan Al Quran dan Hadits melalui kaedah-kaedah syariat. Dengan
demikian, maka yang pertama kali mengadakan Maulid Nabi adalah Banu
Ubaid yang dikenal dengan sebutan Fathimiyyin.”
Kedua:
Di Mesir. Ketika datang Dinasti Ayyubiyah (yang dimulai pada saat
Shalahuddin Al Ayyubi menggulingkan khalifah Fathimiyyah terakhir Al
Adhidh Lidinillah pada tahun 567 H/ 1171 M) maka dibatalkanlah semua
pengaruh kaum Fatimiyyin di seluruh wilayah negara Ayyubiyah, kecuali
Raja Muzhaffar yang menikahi saudari Shalahuddin Al Ayyubi ini. Perayaan
Maulid ini kembali dihidupkan di Mesir pada masa Mamalik, pada tahun
922 H oleh khalifah Qanshuh Al Ghauri. Kemudian, tahun berikutnya 923 H
ketika Orang-Orang Turki Utsmani memasuki Mesir maka mereka meniadakan
Maulid ini. Namun setelah itu muncul kembali. Demikian yang dikatakan
oleh Ibnu Iyas.
Ketiga:
Di Irak. Kemudian di awal abad ke-7 H perayaan Maulid menjadi acara
resmi di kota Arbil, melalui Sultan Muzhaffaruddin Abu Said Kukburi ibn
Zainuddin Ali Ibn Tubaktakin. Dia seorang Sunni (bukan Syi’ah seperti
Bani Ubaid Fatimiyyin). Dia membuat kubah-kubah di awal bulan Shafar,
dan menghiasinya dengan seindah mungkin. Di hari itu, dimeriahkan dengan
nyanyian, musik dan hiburan
qarquz, Gubernur menjadikannya
sebagai hari libur nasional, agar mereka bisa menonton berbagai hiburan
ini. Kubah-kubah kayu berdiri kokoh dari pintu benteng sampai pintu Al
Khanqah. Setiap hari setelah shalat ashar Muzhaffaruddin turun
mengunjungi setiap kubah, mendengarkan irama musik dan melihat segala
yang ada di sana. Ia membuat perayaan Maulid pada satu tahun pada bulan
ke delapan, dan pada tahun yang lain pada bulan ke 12. Dua hari sebelum
Maulid ia mengeluarkan onta, sapi dan kambing. Hewan ternak itu diarak
dengan jidor menuju lapangan untuk disembelih sebagai hidangan bagi
masyarakat.
Sementara menurut Abu Syamah dalam kitab
Al Ba’its ala Inkaril Bida’ wal Hawadits
mengatakan, “Orang yang pertama melakukan hal tersebut di Mosul
(Mushil) adalah Syaikh Umar ibn Muhammad Al Mulla salah seorang shalih
yang terkenal, maka penguasa Arbil meniru beliau.”
Para sejarawan termasuk Ibnu Katsir dalam kitab tarikhnya,
Al Bidayah wa An Nihayah, menyebutkan bahwa perayaan Maulid yang diadakan oleh Raja Muzhaffar ini dihadiri oleh kaum shufi, melalui acara
sama’
(pembacaan qashidah dan nyanyian-nyanyian keagamaan kaum shufi) dari
waktu Zhuhur hingga fajar, dia sendiri ikut turun menari/bergoyang
(semacam joget ala shufi).
Dihidangkan 5000 kambing guling, 10 ribu ayam dan 100.000 zubdiyyah
(semacam keju), dan 30.000 piring kue. Biaya yang dikeluarkan untuk
acara ini –tiap tahunnya- sebesar 300.000 Dinar.
Syaikh Umar bin Muhammad Al Mulla yang menjadi panutan Sultan
Muzhaffar adalah seorang shufi yang setiap tahun mengadakan perayaan
Maulid dengan mengundang pejabat, menteri), dan ulama shufi.
Ibnul Hajj Abu Abdillah Al Abdari berkata, “Sesungguhnya perayaan ini
tersebar di Mesir pada masanya, dan ia mencela bid’ah-bid’ah yang ada
di dalamnya.” (
Al Madkhal: 2/11-12)
Pada abad ke 7 kitab-kitab Maulid banyak ditulis, seperti kisah Ibnu
Dahiyyah yang meninggal di Mesir pada 633 H, Muhyiddin Ibnul Arabi yang
wafat di Damaskus tahun 638 H, Ibnu Thugharbek yang wafat di Mesir tahun
670 H, dan Ahmad Al ’Azli bersama putranya Muhammad yang wafat tahun
677 H.
Karena banyaknya bid’ah-bid’ah yang menyertai acara Maulid maka para
ulama mengingkarinya, bahkan mengingkari hukum asal Maulid. Di antara
mereka adalah Al Fakih Al Maliki Tajuddin Umar ibn Ali Al Lakhami Al
Iskandari yang dikenal dengan sebutan Al Fakihani yang wafat tahun 731
H. Dia menuliskannya dalam risalah
Al Maurid fil Kalam alal Maulid. Hal ini disebutkan oleh Imam Suyuthi dalam kitabnya
Husnul Maqshad.
Kemudian Syaikh Muhammad Al Fadhil ibn Asyur berkata, “Maka datanglah
abad ke 9, sementara manusia berselisih antara yang membolehkan dan
melarang. Imam Ibnu Hajar Al Asqalani (773-852), As Suyuthi (849-911)
dan Ibnu Hajar Al Haitami (909-974) menganggap baik, dengan pengingkaran
mereka terhadap bid’ah-bid’ah yang menempel pada acara Maulid.”
Mereka menyandarkan pendapat mereka pada firman Allah yang artinya, “
Dan ingatkanlah mereka kepada hari-hari Allah.”
(QS. Ibrahim: 5)
Imam Nasai, dan Abdullah ibn Ahmad dalam
Zawaid Al Musnad, serta Al Baihaqi dalam
Syu’abul Iman dari Ubay ibn Ka’b, dari Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, beliau menafsirkan hari-hari Allah dengan nikmat-nikmat Alah dan karunia-Nya.” (
Ruhul Ma’ani, karya Al Alusi) Sedangkan kelahiran Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah nikmat Allah yang besar.
Menurut Agus Hasan Bashori Lc., M.Ag, betul bahwa mengingatkan
nikmat-nikmat Allah termasuk di dalamnya adalah Maulid Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam melalui khutbah, ceramah, kajian, dan tulisan, bukan
dengan hari raya dan perayaan atau pesta atau ‘Idul Milad atau Mauludan.
Dikarenakan asal muasal Maulid Nabi tersebut, yaitu berasal dari kaum
Bathiniyyah (kebatinan) yang memiliki dasar-dasar akidah Majusi dan
Yahudi yang menghidupkan syiar-syiar kaum Salib; maka di sini kita perlu
mengatakan kepada orang-orang yang menilai masalah secara proporsional,
logis dan obyektif: “Apakah benar jika kita menjadikan orang-orang
seperti itu sebagai sumber ibadah kita dan syiar agama kita?”
Sementara kita mengatakan sekali lagi: “Sesungguhnya abad-abad awal
Islam yang diutamakan oleh Allah, tempat para panutan kita -Salafuna
Shalih- hidup, tidak ada secuilpun keterangan tentang ibadah semacam
ini, entah itu dari ulamanya ataupun dari masyarakat awamnya. Tidakkah
cukup bagi kita apa yang cukup bagi Salafus Shalih itu?”
sumber;http://www.fimadani.com